Kamis, 23 April 2009

SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER DAN PRESIDENSIIL

Sistem Pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah yaitu “sistem” dan “pemerintahan”.
“Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai beberapa hubungan fungsionil terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu.
“Pemerintahan” dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara sendiri. Jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya termasuk legislatif dan yudikatif.
Karena itu membicarakan sistem pemerintahan adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Pada garis besarnya sistem pemerintahan yang dilakukan pada negara-negara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensiil.

a. Sistem Parlementer
Sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan hubungan terikat. Maksudnya adalah ada hubungan pertanggung jawaban antara kepala pemerintahan dengan parlemen atau dengan kata lain kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada parlemen. Dengan demikian setiap saat ada kemungkinan kabinet dapat diberhentikan apabila ada satu orang anggota kabinet yang melakukan kesalahan. Hal ini yang menyebabkan sebagian orang menganggap sistem pemerintahan parlementer tidak stabil. Dalam sistem parlementer menteri bertanggung jawab terhadap parlemen , maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan dukungan kepercayaan dengan suara yang terbanyak dari parlemen, yang berarti bahwa kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. Jadi sistem parlementer ini lahir dari pertanggung jawaban menteri.
Parlemen adalah sebuah badan yang mencakup pemerintah. Sedangkan Parlementarisme adalah sebuah sistem politik eksekutif, setelah dipisahkan, ditentang oleh majelis yang kemudian diubah kedalam sebuah parlemen yang terdiri dari pemerintah dan majelis.
Konsekuensi penting dari perubahan majelis kedalam parlemen adalah bahwa sekarang eksekutif terbagi menjadi dua, perdana menteri atau kanselir yang menjadi kepala pemerintahan dan raja atau presiden yang bertindak sebagai kepala negara. Biasanya raja menduduki tahta karena keturunan, sedangkan presiden dipilih parlemen.
Salah satu ciri yang menarik dari parlementarisme adalah pembedaan antara perdana menteri dan para menteri lain. Perdana menteri diangkat oleh kepala negara sedangkan para menteri dipilih oleh perdana menteri setelah diangkat.
Peralihan dari pemerintahan monarki ke dewan menteri mengandung arti bahwa seseorang (seorang penguasa) digantikan oleh sebuah badan kolektif. Dibawah parlementarisme , perdana menteri merupakan orang pertama diantara pemergang jabatan yang setara (primus inter pares), meskipun beberapa perdana menteri lebih berkuasa dari perdana menteri yang lain.
Karena parlemen terdiri dari pemerintah dan majelis, maka seorang anggota pemerintahan adalah anggota parlemen secara ipso facto, tetapi ia tidak dapat menjadi anggota majelis. Di negara-negara dengan sistem parlementer penuh, seperti Inggris dimana para menteri adalah anggota parlemen, tampak sulit membedakan antara pemerintah, parlemen dan majelis dengan jelas. Tentunya usaha untuk memperjelas tampak artifisial. Namun tidak semua negara parlementer menerima konsep bahwa para menteri harus menjadi anggota parlemen. Namun pada umumnya, sebagian besar menteri adalah anggota parlemen. Jika mereka bukan merupakan anggota parlemen, maka sistem akan tetap sebagai sistem parlementer apabila mereka dapat mengambil bagian dalam berbagai debat parlemen dan benar-benar bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan.
Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada majelis yang mungkin menolek memberikan dukungan apabila majelis berpendapat bahwa pemerintah bertindak tidak bijaksana atau bertindak bukan atas dasar konstitusi. Melalui mosi tak percaya atau dengan menolak usulan penting dari pemerintah majelis dapat memaksa pemerintah untuk mengundurkan diri dan mendorong kepala negara untuk menentukan pemerintah yang baru.
Dalam monarki pra-parlementer di Eropa, jika tidak puas dengan majelisnya, raja dapat membubarkan salah satu atau kedua badan legislatif dalam maksud untuk mengamankan pemilihan para wakil yang lebih bertanggung jawab setelah pemilihan yang baru. Saat ini pun, dimana pemerintahan dibagi dua, kepala negara tetap membubarkan parlemen, tetapi ia melakukannya hanya atas permintaan kepala pemerintahan.
Konsep supremasi parlemen sebagai suatu kesatuan atas bagian-bagiannya merupakan satu ciri khas dari sistem parlementer. Hal ini merupakan prinsip penting yang menyatakan bahwa setiap unsur parlemen tidak boleh menguasai unsur yang lain. Pemerintah bergantung pada dukungan majelis jika pemerintahan ingin terus berkuasa, tetapi majelis tidak memiliki supremasi karena pemerintah dapat membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Banyak sistem parlementer telah gagal karena satu atau beberapa unsurnya menyatakan supremasi, dan parlemen sebagai suatu kesatuan tidak berkuasa atas pemerintah dan majelis.
Pemerintah parlementer bertanggung jawab langsung terhadap majelis, namun pemerintah hanya bertanggung jawab tidak langsung kepada para pemilih. Pemerintah secara keseluruhan tidak dipilih secara langsung oleh para pemilih tetapi diangkat secara tak langsung oleh para anggota majelis.
Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif di parlemen menyebabkan penumpukan kekuasaan parlemen dalam tatanan politik. Di panggung parlemen ini drama politik dipentaskan. Parlemen merupakan forum untuk menyampaikan berbagai gagasan bangsa dan merupakan sekolah tempat para calon pemimpin politik dididik. Agar parlementarisme berhasil, maka pemerintah tidak boleh banyak omong terhadap penolakan parlemen atas programnya, atau bergerenyit atas kritik yang dilontarkan kepada penyelenggaraan pemerintahannya. Kemudian majelis harus menahan diri untuk tidak menjalankan fungsi pemerintah. Disini terdapat keseimbangan kekuasaan tanpa mencari keuntungan bagi setiap institusi.
Dalam sistem parlementer terdapat dua formatur yang berbeda dalam penyusunan kabinet yaitu dalam sistem dua partai dan dalam sistem banyak partai. Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai Perdana Menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politik yang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi. Dan dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlemen.
Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dengan parlemen, dan Kepala Negara beranggapan kabinet berada dalam pihak yang benar, maka Kepala Negara akan membubarkan parlemen. Dan adalah menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya, apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam pemilihan umum tersebut, maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya apabila partai oposisi yang memenangkan pemilihan umum, maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya, dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru.

b. Sistem Presidensiil
Dalam sistem presidensiil kedudukan eksekutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat. Adapun dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat. Sebagai kepala eksekutif seorang Presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka itu hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Karena pembentukan kabinet itu tidak tergantung dari Badan Perwakilan Rakyat atau tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari badan perwakilan rakyat itu, maka menteri pun tidak bisa diberhentikan olehnya. Sistem ini terdapat di Amerika Serikat yang mempertahankan ajaran Montesquieu, dimana kedudukan tiga kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpisah satu sama lain secara tajam dan saling menguji serta saling mengadakan perimbangan. Kekuasaan membuat undang-undang di tangan Congress , sedangkan presiden mempunyai hak veto terhadap Undang-Undang yang sudah dibuat itu. Kekuasaan eksekutif ada pada Presiden dan pemimpin-pemimpin departemen adalah para menteri yang tidak bertanggung jawab terhadap parlemen. Karena presiden itu dipilih oleh rakyat, maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepada para pemilih (rakyat). Tugas peradilan dilakukan oleh badan-badan peradilan yang pada azasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hakimnya diangkat seumur hidup selama kelakuannya tidak tercela, dan ada sebagian yang dipilih oleh rakyat.
Dalam sistem presidensiil eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih. Hal ini mencegah majelis memaksa pengunduran dirinya (kecuali dengan tuduhan atas pelanggaran serius) dan sekaligus menuntut presiden untuk bersedia dipilih kembali jika ia ingin terus memegang jabatan. Tampak bahwa masa jabatan presiden ini sebaiknya dibatasi pada beberapa kali masa jabatan.
Hal yang juga penting untuk menjalankan sistem presidensiil adalah pemilihan presiden pada saat pemilihan majelis. Hal ini menghubungkan dua cabang pemerintahan, mendorong persatuan partai dan memperjelas berbagai masalah.
Dalam sistem presidensiil kepala pemerintahan adalah kepala negara. Ini merupakan satu perbedaan penting dengan sistem parlementer karena perbedaan ini menarik perhatian kearah kedudukan yang terbatas dan keadaan diseputar jabatan presiden. Presiden mempunyai sedikit konsekuensi hingga ia dipilih sebagai pemimpin politik oleh para pemilih/rakyat dan ia tidak lagi memegang kekuasaan apapun setelah masa jabatannya berakhir. Selain itu, presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya. Presiden mengangkat sekertaris (kadang-kadang disebut menteri) yang menjadi kepala departemen eksekutifnya. Menurut aturan formal, pengangkatan menteri harus mendapat persetujuan dari majelis atau salah satu organnya, pada prakteknya presiden mempunyai banyak pilihan. Kedudukan presiden dalam sistem presidensiil adalah sebagai eksekutif tunggal.
Dalam pemerintahan presidensiil, orang yang sama tidak boleh menduduki dua jabatan eksekutif dan legislatif secara bersamaan. Meskipun para menteri tidak boleh menjadi anggota majelis (kecuali di Kuba dan Peru) namun mereka biasanya mempunyai hak untuk menghadiri dan mengambil bagian dalam perdebatan.
Selain itu dalam pemerintahan presidensiil, eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi dan bukan bertanggung jawab kepada majelis seperti di pemerintahan parlementer. Biasanya majelislah yang meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tak percaya. Dakwaan ini menuntut kepatuhan hukum dan sangat berbeda dengan pelaksanaan kontrol politik atas tindakan presiden. Tanggung jawab politik ini berarti hubungan sehari-hari antara pemerintah dan majelis. Dakwaan ini adalah hukuman berat yang diperlukan jika eksekutif dan majelis tidak salaing bekerja sama. Sebagaimana diketahui, majelis tidak dapat mencopot presiden dari jabatannya. Begitu pula presiden tidak dapat membubarkan majelis. Oleh karena itu mereka tidak dapat saling memaksa dan tidak mengherankan jika sistem ini merupakan sistem check and balance. Sistem presidensiil memperlihatkan saling ketergantungan antara cabang eksekutif dan legislatif dalam pemerintahan ini.
Dalam sistem presidensiil, peleburan kekuasaan eksekutif dan legislatif digantikan dengan pemisahan kekuasaan, dan masing-masing badan memiliki ruang lingkup sendiri. Bukti menunjukan bahwa majelis tidak dapat memaksa pengunduran diri presiden dan presiden pun tidak dapat membubarkan majelis. Selain itu, kedua cabang pemerintahan itu mungkin mengetahui bahwa tindakan-tindakan mereka dinyatakan inkonstitusional oleh badan ketiga yaitu yudikatif. Dalam hal ini konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi. Jabatan pendek yang dapat diberikan adalah bahwa dalam pemerintahan presidensiil, cabang-cabang pemerintah akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tak satupun yang lebih dominan. Namun pada kenyataannya, majelislah yang mempunyai kedudukan tertinggi. Presiden mempunyai kekuasaan yang diberikan oleh UUD tetapi ia mungkin tidak akan berdaya jika majelis memberinya kekuasaan. Jika ia bertindak tanpa berdasarkan UUD, maka majelis dapat menghukumnya. Bahkan dalam konflik serius, badan yudikatif harus tunduk kepada kehendak majelis karena badan ini mempunyai hak untuk mengubah konstitusi.
Pemerintah presidensiil bergantung pada suara rakyat dan presiden (dan wakil presiden jika ada) dipilih oleh badan pemilihan.
Didalam pemerintahan presidensiil tidak ada konsentrasi kekuasaan atau fokus kekuasaan, kecuali pembagian kekuasaan dan tidak ada penyatuan kecuali fragmentasi kekuasaan.


Yang menjadi masalah pada kedua sistem itu adalah bagaimanakah jika terjadi perselisihan pendapat antara eksekutif dan legislatif? Dalam sistem parlementer tentu saja pihak eksekutif akan mengundurkan diri, sedangkan pada sistem presidensiil seorang presiden sebagai kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan karena perbedaan pendapat dengan congress. Ia tidak dapat diganggu gugat selama masa jabatannya belum habis, kecuali dalam hal-hal tertentu. Badan Perwakilan Rakyat menuntut perbuatan presiden yang terlarang tersebut dan Senatlah yang mengadilinya. Tetapi dalam hal adanya perbedaan pendapat mengenai kebijaksanaan politik dengan keingina Congress terhadap Presiden tidak dikenai saksi.

c. Sebab timbulnya perbedaan antara sistem Parlementer dan Presidensiil
Sebab-sebab timbulnya perbedaan antara dua sistem tersebut adalah karena latar belakang sejarah politik yang dialami oleh negara masing-masing itu berlainan. Sistem parlementer itu timbul dari bentuk negara monarki yang kemudian mendapat pengaruh dari pertanggung jawaban menteri. Sesudah itu maka fungsi dari raja merupakan faktor stabilisasi jika terjadi perselisihan antara eksekutif dan legislatif. Latar belakang negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil adalah kencian rakyat Amerika terhadap pemerintahan raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montequieu dengan mengadakan pemisahaan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias Politika itu terdapat sistem check and balance.

d. Keuntungan dan kelemahan sistem Parlementer dan Presidensiil
Kedua sistem ini mengenal keuntungan dan kelemahannya. Keuntungan dari sistem parlementer adalah bahawa penyesuaian antara pihak eksekutif dan legislatif mudah dapat dicapai. Namun kelemahannya adalah apabila pertentangan antara keduanya itu bisa sewaktu-waktu terjadi menyebabkan kabinet harus mengundurkan diri dan akibatnya pemerintahan tidak stabil.
Keuntungan dari sistem presidensiil ialah, bahwa pemerintahan untuk jangka waktu yang ditentukan itu stabil. Kelemahannya, bahwa kemungkinan terjadi apa yang ditetapkan sebagai tujuan negara menurut eksekutif bisa berbeda dari pendapat legislatif. Lagi pula pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat dan untuk memilih presiden dilakukan untuk masa jabatan yang tidak sama, sehingga perbedaan pendapat yang timbul pada para pemilih dapat mempengaruhi sikap dan keadaan lembaga itu menjadi berlainan.

0 komentar: